Mebe dan Mobi
Kita tidak bisa
selamanya seperti ini, suatu saat kita pasti akan konangan.
Kalimat itu
seolah selalu mengiang di telingaku. Kalimat yang selalu kau dengungkan di
telingaku, di sela desah nafas, dan ngilu rabamu yang membuatku selalu meminta
lagi dan lagi. Tapi tak jua pernah kau selesaikan kalimat itu, kau selalu lebih
memilih memelukku. Akupun tak mau kalah. Aku toh juga tidak mau dihantui oleh
perpisahan meski semestinya semua orang sadar bahwa apapun yang memiliki awal,
pasti juga akan berakhir.
Dan nafasmu
membutakanku. Lumat bibirmu jauh lebih menggairahkan dibanding semua yang ada
di dunia. Selalu lebih menggoda dibanding tawaran naik gaji atau promosi
jabatan. Ah Mobi, aku pasrah dalam dekapmu. Bawa aku mengarungi nikmat cinta di
sela tungkai indahmu. Dinding hotel per jam itu menjadi saksi liarnya napsumu
kepadaku, membuncahnya gairahku kepadamu.
“Mob, kali ini
aku ingin di atas. Uhh.”
***
“Mebe…,” sapamu
usai pergumulan kita yang keentah berapa kalinya.
“Kenapa Mob,”
ucapku masih tak acuh terbawa pengaruh oksitoksin dan endorphin yang melayang
di orgasme terakhir.
“Meb,”.
“Aku harus
ngomong serius Meb. Tiga bulan lagi aku akan menikah. Sepertinya kita tidak
bisa melanjutkn hubungan ini. Aku tidak melukai siapapun dengan hubungan kita
ini, tidak jua keluargamu anak-anakmu. Tidak juga keluargaku kelak,” katamu
memberondong laksana AK-47 menyalak tak memberiku kesempatan menepis barang
sedikitpun.
Pun sebenarnya
sudah berulangkali kita membicarakan ini. Tapi selalu saja kalah dengan desah
nafas dan pagutan hangat. Kita selalu saja menepis ketakutan akan rasa
perpisahan ini. Tapi sepertinya, sekarang tidak. Tak ada celah untuk menghindar
dari keseriusanmu.
“Setidaknya,
biarkan kita bersama sama tiga bulan ini. Aku janji, saat kamu sudah menikah,
aku tidak akan datang mengganggu. Aku cukup melihatmu bahagia dari jauh,” kilahku,
mencoba mengulur waktu demi menikmatimu lebih lama.
“Tidak. Kita harus
tegas. Masing-masing dari kita harus konsisten untuk putus. Berapa kali kita
putus nyambung dan selalu berakhir dengan seperti ini. Aku stress. Aku tertekan.
Aku bahkan tidak bisa menikmati sentuhannya lagi karena hanya sentuhanmu yang
terbayang. Aku merasa berdosa dengannya,” dan kau mulai merajuk, seolah meminta
pergumulan berikutnya. Tapi usap tanganku di bahumu kau tepis, pertanda kau
memang sedang serius. Sedang tidak ingin melanjutkan percintaan kita yang
selalu membara.
“Aku serius. Aku
pengin putus Mob. Istrimu kan juga sudah mulai curiga kan sama aku.”
***
“Kali ini,
kita harus benar-benar putus. Istriku ternyata memang sudah mencium semua
perbuatan kita. Dan aku tidak mau menghancurkan rumah tanggaku sendiri. Aku sayang
anak-anakku,” ucapku lirih di riuh cafĂ© itu, siang itu.
“Maafkan aku
dan semua yang sudah pernah kita lakukan bersama. Itu indah,” imbuhku saat kau
tak jua menyahut kalimat pembukaku.
Entah mengapa
kau justru masih diam dan memilih berdiri. Mengancingkan resleiting jaketmu,
mengambil kontak motormu di meja lalu bergegas memasukkannya di saku celana
jins ketatmu yang menutupi sesuatu yang selalu menjadi kesukaanku saat kita berdua
di kamar hotel murahan itu.
“Akupun
demikian. Fitri juga curiga dengan hubungan kita meski tidak kentara. Tapi aku
yakin dia sudah menaruh curiga. Kita done sampai di sini. Kita tidak perlu lagi
saling mencari, bulan depan aku menikah. Bye Mob,” ujarmu tegas, setegas parang
tajam yang mencabik pembuluh arteri sehingga tak lagi mampu mengalirkan darah
dan oksigen ke otak dan mengirimnya kembali ke jantung melalui aorta carotis
communis.
Tak ada kata
lain, akupun menyutujui. Toh selama ini, memang ini yang selalu menjadi bahan
perdebatan kita. “Ok bye Meb. Smoga kau dapat berbahagia dengan istri dan
anak-anakmu kelak.”
*****
* Sinabung 21,
5 Des (sebulan sebelum Tahun Baru 2017), 22.17, tanpa kopi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar