Beberapa wisatawan asing asyik memotret dan memberi makan kera (feeding monkey) di Taman Wisata Goa Kreo dan Waduk Jatibarang. |
SEORANG rekan sesama pecinta kuliner tiba-tiba bercerita bahwa warung bakso cabang langganan kami, rasanya tidak nikmat lagi. Padahal, ia terlanjur mempromosikan warung tersebut kepada keluarga dan koleganya yang lain.
Terlebih, letak
warung cabang tersebut, berada lebih dekat dengan tempat tinggal mereka di
kawasan Semarang atas. Alhasil sebenarnya mereka tidak perlu jauh-jauh turun ke
pusat kota untuk menikmati sajian kuliner tersebut di warung aslinya.
Lalu muncullah
diskusi kami mengapa warung cabang tersebut tak seenak aslinya. Mulai dari
analisa kemungkinan bumbu yang dikurangi, sudah dikelola oleh generasi kedua
bahkan mungkin sudah oleh karyawannya hingga pada satu kata, sembogo.
Dalam analisa
rekan tersebut, warung cabang tadi tidak dikelola secara sembogo, atau tidak
sepenuhnya menggunakan rasa atau perasaan atau dalam bahasa saya adalah passion.
Alhasil, ia mengelola tempat makan yang sebenarnya di tempat aslinya sangat
ramai dipenuhi pengunjung tersebut, tidak dengan segenap jiwa dan cintanya.
Ini didukung
dengan fakta hampir di semua warung cabang, tidak terasa nikmat senikmat warung
pertama. Meski tidak bisa digeneralisasi, namun memang kebanyakan warung
cabang, memiliki citarasa (taste) yang berbeda dengan di tempat asli ia
berasal.
Sembogo Pariwisata
Senada,
berbicara mengenai kepariwisataan, kita juga melihat bahwa dunia pariwisata
kita dalam skala yang lebih kecil di Kota Semarang, tidak bisa cetar membahana
layaknya Solo atau Jogja. Memang harus disadari bahwa Semarang kurang memiliki
akar budaya yang kuat seperti di dua kota tersebut.
Budaya keraton, peninggalan
purbakala hingga adat istiadat serta geografis Semarang sebagai kota urban yang
lebih banyak disinggahi pendatang daripada warga asli, menjadi salah satu penyebabnya.
Namun kita tidak akan berbicara lebih jauh mengenai akar dan kondisi sosial
masyarakat.
Bagaimanapun,
Semarang memiliki citarasa pariwisata yang berbeda dengan di dua kota tersebut.
Jikapun destinasinya sama, kita harus membuat ‘taste’-nya berbeda karena kita
tidak akan dapat menyamai ‘makom’ Solo dan Jogja yang sudah memiliki akar kuat
sebagai kota tujuan wisata.
Yang ingin saya
sampaikan adalah berkaitan dengan sembogo di atas. Adanya rasa, perasaan dan
jiwa tulus dalam mengelola industri pariwisata di kota inilah yang menjadi
latar belakang mengapa sektor jasa yang satu ini belum mampu menjadi tulang punggung
pendulang PAD yang tinggi di Semarang.
Ketiadaan sembogo
dalam pengelolaan pariwisata dapat dimaklumi. Mengingat keberadaan
pengelolanya, dalam hal ini Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, rata-rata bukanlah
mereka yang memiliki latar belakang seni dan budaya atau passion mereka memang
bukan di bidang ini.
Visi memajukan industri
wisata bermula dari penugasan di dinas ini, bukan murni karena pilihan pribadi.
Dari sinilah ketiadaan sembogo pariwisata bermula sehingga dalam perjalanannya
mengelola program wisata, even hingga atraksi budaya, nyaris serupa sama dari
tahun ke tahun.
Jikalau saja
masing-masing individu di industri ini mau sedikit meluangkan olah rasa, taste
dan ketulusannya, bukan niscaya sektor pariwisata kita berkembang pesat. Tentu saja
ini tidak hanya berlaku bagi dinas semata namun juga para pelaku usaha dunia
pariwisata yang datang bukan karena keterpaksaan namun ketulusan sehingga
muncul rasa cinta yang mendalam dalam menjalankan ‘ibadah’ memajukan pariwisata
Semarang.
Terlepas dari
itu, insan-insan pariwisata, tentunya juga harus menyadari betapa penting sektor
pariwisata dalam menunjang PAD. Tak heran jika Menpar Arief Yahya berusaha
mengundang 20 juta wisatawan asing datang ke Indonesia di tahun 2017 ini yang
tentu saja diharapkan mereka ‘harus’ mampir ke Semarang untuk menambah
pundi-pundi pendapatan pelaku usaha di sini.
Lalu, dapatkah
kita membangkitkan rasa cinta, ketulusan dan segenap jiwa sembogo demi
memajukan pariwisata Semarang? Jawabannya ada dalam diri kita masing-masing.
Salam sembogo.
*saat saya tersadar sebagai Koordinator Pegiat Wisata Kota Semarang
* 12 menit menuju Sabtu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar