MAHFUD namanya. Umur
dari pengakuannya adalah 48 tahun dan menderita tuna netra sejak lahir. Saya biasa
menemuinya di bawah lampu bangjo ujung Jalan Sisingamangaraja.
Rumahnya di
Jalan Singgalang, hanya sejengkal jalan dari rumah saya di Jalan Sinabung. Setiap
pagi dan siang, saat berangkat dan pulang mengamen, Mahfud diantar jemput
istrinya yang menuntunnya pulang, meski sesekali saya lihat ia berjalan sendiri
mengandalkan ‘tongkat saktinya’.
“Sekarang
maksimal cuma sampai jam 09.00 mas daripada digaruk Satpol PP dan ketipung saya
di sita. Padahal ketipung itu bagus, harganya mahal. Saya beli Rp2,8 juta hasil
dari mengamen,” ujarnya pilu saat saya temui mengamen di sudut Warung Ayam
Goreng Priangan Jalan Sisingamangaraja, Sabtu (27/5) malam.
Dari tuturnya,
ia kapok berurusan dengan aparat penegak Perda Kota Semarang tersebut sehingga
menambah jam kerja di malam hari. Satu, karena alasan ketipungnya pernah
disita. Dan saat mendatangi kantor Satpol PP, ketipungnya diaku sudah tidak
ada.
Tidak hanya
sekali, ia mendatangi kantor mereka hingga beberapa kali. Namun jawabannya
selalu sama, sudah tidak ada. Mahfud-pun mengalah dengan membeli kembali
ketipung namun dengan harga yang lebih murah, Rp480 ribu.
Pun bukan
berarti membelinya bukan tanpa perjuangan, keringat dan darah. Harga segitu
baginya, tentu sebuah usaha menyisihkan uang makan ia, istri dan anaknya selama
beberapa pekan.
Alasan kedua
Mahfud tak ingin berurusan dengan Satpol adalah ia pernah digaruk dan
dimasukkan Panti Rehabilitasi Among Jiwo, sebuah panti yang dikhususkan bagi gepeng
dan anjal (gelandangan, pengemis dan anak jalanan). Sayangnya, ia ditempatkan
dalam satu ruangan bersama orang gila.
“Badan saya
habis digebuki oleh orang gila itu. Sementara saya tidak bisa melihat. Saat berusaha
kabur dan menemukan sebuah pintu, ternyata itu pintu menuju ruangan sebelah. Remuk
rasanya digebuki orang gila. Saya kapok tidak mau berurusan dengan Satpol PP
lagi,” tuturnya haru.
Tapi bukan
Mahfud jika menyerah. Di tengah haru dan pilu getirnya kehidupan, ia menyisakan
ruang untuk berkarya. Tiga buah lagu dengan iringan ketipung diciptakannya,
setidaknya untuk menghibur dirinya sendiri dan mungkin orang lain yang bersedia
mendengarnya.
Balada Lampu
Merah adalah karyanya yang diilhami dari kerasnya mencari nafkah di bawah terik
dan uluran tangan pengendara yang menunggu lampu hijau tanda jalan. Balada Tuna
Netra, sudah bisa ditebak adalah bagaimana sedulur-sedulur kita ini menjalani
hidup dalam warna yang semaunya gelap.
Dan Sajadah
Malam Panjang berkisah tentang cerita getirnya dipukuli orang gila di Panti
Among Jiwa. Sebuah tindakan non manusiawi lainnya dari aparat penegak perda
yang lupa untuk tidak mencampurkan orang waras apalagi yang menyandang difabel
dengan orang yang kurang waras.
Jauh dari dalam
hati, saya ingin mengadukan ini kepada orang nomor satu di Semarang. Ingin saya
sampaikan, dimana letak nurani mereka yang sudah menyita alat nafkah orang
buta, dimana hati mereka yang menempatkan penyandang netra dengan orang gila
dalam satu ruangan yang membuatnya keluar dari panti dengan gelar tambahan,
bonyok dan lebam.
Gustiii…seperti
inikah keadilan negeri ini? Seperti inikah perilaku mereka yang berkuasa namun
hanya berani kepada ‘orang kecil’ bahkan ‘sangat kecil’?
Mahfud dan
Mahfud-Mahfud lain mungkin seperti sampah, mengamen di sudut-sudut jalan,
mengotori pemandangan, merusak estetika kota. Tapi adakah pilihan yang lebih baik
bagi mereka? Setidaknya wahai aparat penegak Perda Kota Semarang, tetap gunakan
nurani dalam tupoksimu menjaga ketertiban kota. Manfaatkan logika dan akal
sehat yang diberikan Gusti Allah kepada kita yang ‘normal’ ini, dan bukan untuk
bertindak di luar batas manusia.
Dan semoga
Ramadhan tahun ini, semakin menjadikan kita insan yang lebih baik. Aamiin…
#Ramadhanmenulis
#BaladaMahfud
wah salut buat pak mahfud.
BalasHapuskalau gue sering liat tunanetra yang jualan kerupuk. cuma kalo dipinggir jalan khan bahaya
Iya, setidaknya ada yang bisa mereka lakukan untuk bertahan hidup, tidak sekedar mengemis atau meminta minta, tapi fight for life. salut
BalasHapus