“RANGGA, APAKAH
KAU SUDAH PERNAH KE PUNTHUK SETUMBU?”
SEBUAH
pertanyaan yang dilontarkan Cinta kepada Rangga di AADC 2. Dimana berkat
pertanyaan itulah, sebuah bukit di kawasan Ngadirejo kini menjadi most wanted
spot to get a golden sunrise.
Tapi jujur, saya
sendiri belum menonton film yang katanya kelanjutan AADC 1 (ya iyalah, masak
AADC 2 kelanjutan The Raid hihi). Ungkapan itu sendiri saya peroleh dari cerita
teman-teman gaet yang kebetulan ketemu di puncak Punthuk Setumbu.
Toh sebenarnya,
syuting film yang diperankan oleh Nicholas Saputra dan Dian Sastro ini
sebenarnya tidak dilakukan di sini. Namun karena Rangga terlanjut mengucapkan
‘mantra sakti’ itu, tak urung tempat ini
menjadi jujukan utama pemburu si matahari terbit (yang bahkan baru bangun tidur
namun belum mandi dan masih ada bekas iler lo).
***
Ngomong-ngomong
soal belum mandi, senada, sayapun tidak sempat mandi (selain alasan malas dan
dingin) untuk memburu sunrise ini. Menyingkap selimut dan cuma cuci muka serta
gosok gigi seadanya, saya memacu March putih menembus gelap dinihari dan dingin
udara kawasan Magelang. Wajar memang saya agak tergesa, selain karena belum
tahu rute jalan dari Hotel Plataran tempat saya menginap, juga karena alarm
04.00 yang saya pasang, tidak mampu membuat saya terbangun.
Keluar dari
hotel pukul 04.50, membuat saya dagdigdug apakah masih bisa mendapatkan bulatan
bersemu merah itu di pucuk Borobudur. Belum lagi di beberapa tikungan, saya
harus pakai kesasar karena salah belok, makin membuat hati kebat kebit. Membaca
GPS-pun masih juga salah sampai dua kali lo (hehe maklum saya bukan anak
kekinian dan lebih suka mouth to mouth untuk menanyakan lokasi yang dituju).
Masalah muncul
karena di jam segitu, tidak banyakk manusia yang dijumpai di jalanan untuk
ditanyai. Jadi kembalilah saya mengandalkan teknologi bernama GPS itu serta
sesekali meraba papann penunjuk jalann bertulis Punthuk Setumbu.
Lima belas
berkendara, sampailah saya di hadapan beberapa warga yang memegang tiket di
tikungan terakhir sembari mengarahkan ke tujuan yang dituju. Membayar uang
masuk dan parkir Rp5.000, saya diarahkan ke halaman rumah warga yang sudah
dipenuhi beberapa kendaraan roda empat.
Di situ pula
sudah mengantri belasan tukang ojek yang menurut literatur yang saya baca,
memang perlu angkutan bernama ojek untuk menuju loket masuk Punthuk Setumbu.
Rp10 ribu untuk satu sepeda motor yang langsung saya minta berboncengan bersama
istri dan Athier yang semalam di mobil bilang tak mau berpetualang karena takut
jatuh (tapi ketika dibangunin, tetap saja nginthili kami haha).
Sayangnya
ternyata jarak lokasi parkir saya dengan loket ternyata cukup dekat sehingga
ada sedikit perasaan tidak rela membayar uang Rp20ribu untuk dua motor. Tapi ya
sudahlah, daripada saya terlambat mendapatkan sunrise.
Dan ketika di
loket, saya sudah berlari duluan di jalan setapak menanjak sementara istri
membeli tiket. Lumayan juga jaraknya, lumayan pula nafas ngos-ngosan yang
dihasilkannya, mengalahkan rutinitas futsal saya, apalagi posisi kaki masih
cukup lemas sehabis bangun sepagi itu (huffft).
Dan di titik
puncak, ratusan orang sudah berjajar di pinggir tebing. Satu kesamaan, mereka
semua memegang piranti yang dilengkapi kamera baik yang DSLR, mirorless hingga
yang sekeda kamera handphone lengkap dengan tongkat ajaib bernama tongsis.
Lima menit
berikutnya, barulah istri dan Athier menyusul di tempat saya berdiri yang
seolah adalah tempat yang sudah dipesan masing-masing orang untuk menunggu
kemunculan sang bintang tamu (lebih tepatnya matahari tamu). Seolah tak ada
yang mau berrgeser baarang sejengkal memberi ruang bagi yang datang terlambat.
Sayapun mendapat tempat tegak lurus dengan Borobudur (saya pikir ini spot
terbaik).
Namun begitu
semakin terang, baru saya sadar masih ada spot terbaik lainnya yang memiliki
latar belakang Borobudur lengkap dengan pasangan Merapi-Merbabu di kejauhan.
Tapi ya sekali lagi, di sisi itu sudah penuh sesak, tak ada yang rela membagi
tempat bagi yang ‘terlambat’.
Dan beruntung,
di waktu yang serba berjalan cepat itu, saya masih mendapatkan cahaya jingga
kemerahan merambat menerangi bayangan hitam yang terlihat semakin nyata dan
biasa disebut Borobudur. Nun jauh di sana, Merapi juga mulai nampak pongahnya,
berdiri gagah tanpa dosa.
Sementara
Merbabu di sisi kirinya, masih malu-malu menunjukkan ketidakaktifannya
dibanding saudara kembarnya yang lebih hyperactive itu. Dan perlahan, sayapun
bergeser ke kanan mencari angle dimana Fuji A II saya bisa menjangkau ketiga
subyek di atas sembari mencoba mengganti lensa ke 70-230 mm.
Hasilnya? Tentu
sangat luar biasa melihat pemandangan indah itu. Ucap syukur, Allah Maha Besar
dan Subhallah berkali kali meluncur deras. Sayang, keindahan luar biasa itu,
hanya menjadi hasil yang biasa-biasa saja di tangan fotografer sekelas saya
(saya masih kelas 1 SD dibanding fotografer lain yang sudah lulus SMA hahaha).
Tapi PD saja.
Apapun hasil jepretannya, saya bangga. Setidaknya saya pernah ke Punthuk
Setumbu dan memotret sunrise-Mu dengan gegap gempita. Toh hasil like di IG saya
masih berada di angka puluhan, bukti bahwa follower saya menyukai foto matahari
terbit berwarna agak jingga di atas Borobudur yang tersaput awan.
Tapi momen itu
hanya sebentar, tidak lama. Semakin terang, semakin pudar juga bayang indah
Sang Sambara Budhara di proyeksi lensa kamera. Saatnya mencari kopi dan
mensesap sebatang mild menthol burst.
Tapi ternyata di
sisi selatan itu masih ada spot menarik untuk berfoto. Top selfie. Dan di sana,
sudah ada puluhan orang yang mengantri berfoto di atas ketinggian, di spot
khusus yang disediakan dengan latar perbukitan Menoreh yang cantik kehijauan
tanpa kabut sedikitpun.
Lumayan dapat model bule gratis hehe |
Pun akhirnya
kami terpancing untuk berfoto di situ. Idhep-idhep sebagai bukti kami pernah ke
Punthuk Setumbu. Sesadar itu, ketika menoleh ke arah timur laut, sebuah puncak
bangunan aneh menampakkan batangnya. Apakah itu? Sabar, saya tuliskan di bagian
kedua. Sekarang, biarkan saya mensesap batang rokok kedua kalinya.
Punthuk Setumbu,
18817.
Tips:
- pastikan anda
bangun lebih pagi sehingga tidak kesusu. Dengan demikian, tidak perlu
menggunakan ojek menuju loket Punthuk Setumbu.
- tidak perlu
sangu air minum karena di puncak, banyak penjual minuman. Lumayan mengurangi
beban saat trekking lo hehe
- jika kendaraan
diparkir di Punthuk dan anda ingin ke Gereja Ayam, parkir saja di Punthuk lalu
untuk menuju ke lokasi parkir, baru menggunakan ojek Rp20 ribu. Lumayan cucuk
kok, jauh soale lokasi jadi kalau jalan kaki ya puegeel.
Gaya terbaik dan terpede saya haha |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar