Kepompong...menuju kesempurnaan |
BANYAK orang menganggap, perayaan lebaran adalah bagian dari
Islam. Padahal, Idul Fitri merupakan lahir kembali insan ke dunia usai diuji sebulan penuh di melalui Bulan Ramadhan dengan menahan seluruh hawa napsunya. Ya mirip dengan transformasi ulet menjadi kupu-kupu cantik gitu setelah melalui proses menjadi kepompong lebih dulu.
Tapi faktanya, banyak orang salah mengartikan Idul Fitri. Fitri dan lahir kembali diartikan sebagai saran untuk hal-hal yang sebenarnya kurang produktif, kurang bermanfaat bahkan lebih cenderung melakukan tradisi budaya daripada syariat Islam. Jadinya salah kaprah deh...pffftt
Namun justru budaya inilah yang berkembang pesat di
masyarakat. Tradisi itu juga diyakini sebagai sebuah kebenaran lo. Sementara di
negara asalnya sono, perayaan Idul Fitri jauh berbeda dengan yang di sini. Konon
begitu kalau di Arab, entah sih...saya sendiri belum pernah ke Arab meski wajah
saya agak kearab-araban hihi.
Nah inilah hal yang menjadi salah kaprah dalam melaksanakan
Hari Raya Idul Fitri di Indonesia:
1.
Sungkeman
Hampir semua orang memanfaatkan momentum
Lebaran untuk bermaaf-maafan. Bahkan kepada orang tua kita, selalu harus ada
tradisi sungkeman, muter dari kakak pertama dan berakhir di adik yang paling
ragil. Bergantian, si kakak kemudian akan juga disungkemi adik-adiknya, anak-anaknya,
keponakan dan begitu seterusnya.
Yakin deh, sungkeman ini adalah tradisi
Jawa. Memang tujuannya bagus, yakni saling memaafkan. Namun menurut Islam,
memaafkan mah tidak perlu nunggu Lebaran. Begitu merasa salah, ya langsung saja
minta maaf. Iya kalau umur kita bisa sampae lebaran tahun depan? Kalau tidak,
kan berabe.
Nah menariknya, saat sungkeman atau
bermaaf-maafan, selalu mengucapkan Minal Aidzin wal Faizin yang ternyata
artinya bukan meminta maaf atau memaafkan lo. Maunya bergaya keara-araban, tapi
salah arti hahaha.
Saya sendiri sudah mulai menghilangkan
sungkeman ini ke generasi kedua. Anak-anak sudah tidak lagi saya biasakan untuk
sungkeman saat Lebaran. Saya paling ikut sungkem hanya kepada orang tua dekat
saya (Ibu dan mertua) sembari pelan-pelan mlipir untuk tidak sungkem ke yang
lain hahaha
Silaturahmi juga dilakukan untuk keluarga
jauh yang selama ini jarang dikunjungi. Tapi khusus silaturahmi ini, saya
sendiri mengapresiasi karena memang diajarkan penting di Islam. Ya sekaligus
menanya kabar saudara-saudara kita yang jarang bertemu.
2.
Mudik dan THR
Mudik dan pembagian Tunjangan Hari Raya
(THR), juga hanya ada di Indonesia. Tujuannya adalah untuk membantu mereka yang
merayakan Idul Fitri. Dari kacamata si penerima, THR tentu menjadi berkah, gaji
ke-13 bagi karyawan swasta, macam aku ini. Tapi dari sisi pengusaha, THR adalah
suatu pengeluaran luar biasa. Bayangkan, jika di negara lain hanya ada 12 bulan
gaji, di sini bisa lebih loh hahaha...
Begitu pula dengan mudik. Tradisi pulang kampung
ini juga lucu. Banyak yang bertanya,Mudik kemana?. Ketika dijawab, Aku mudik ke
Jawa.
“Jawanya mana? Kapan balik Jakarta?” “Aku
di Semarang. Aku balik H+7”
Terasa aneh kan. La apa Jakarta itu bukan
bagian dari Pulau Jawa? La apa Jakarta itu pulau terpisah layaknya Pulau Seribu
atau bahkan Sumatera?
Lebih dari itu, mudik juga telah mampu
menggerakkan 19 juta manusia dari Jakarta ke berbagai daerah tujuan (data prediksi
pemudik 2018 dari Kemenhub). Padahal, selama belasan jam-jam, mereka didera
kemacetan, antre panjang, kaki menekuk di bawah jok, bagasi menumpuk dengan
baju dan oleh-oleh. Tapi inilah tradisi...sulit ditolak. Ada ungkapan juga,
kalau Lebaran tidak pulang kampung, berarti tidak berbakti kepada orang tuanya
apalagi jika masih hidup.
Tapi jika mudik dengan niatan
bersilaturahmi, saya acungi jempol deh...pokoke silaturahmi di atas segalanya.
Kan bagi yang jomblo, biasa juga diberi pertanyaan, "Kapan nikah? kok calonnya gak diajak kemari? Gak laku ya." :D
3.
Belanja Baju Baru
Entah siapa yang memulai, hingga sata usia
SMP, ibu selalu membelikan baju baru saat Lebaran. Jumlahnya selalu
berpasangan, baju dan celana, satu stel katanya. Selebihnya di bulan-bulan
lain, saya tidak akan dibelikan baju baru, kecuali baju seragam sekolah ini.
Tapi mulai akhir SMP, saya sudah
menolaknya. Saya minta uangnya, saya belikan barang yang lebih saya suka. Pernah
pula baju Lebaran saya pakai dua tahun setelah dibeli, hanya karena saya sudah
malu pakai baju baru saat Lebaran hahaha
4.
Banyak Makanan/Jajanan
Seiring dengan pergerakan manusia melalui
kegiatan mudik di atas, apalagi jumlahnya mencapai jutaan, selalu saja
disediakan makanan di masing-masing rumah. Mulai dari roti kongguan yang
terlihat lebih mewah dibanding para tetangga, lalu ada kembang goyang, satru,
tumpi hingga rengginang, komplit terhidang di meja.
Minumnya? Pasti deh sirup kenamaan yang
iklannya memborbardir selama Bulan Puasa, siang dan malam.
Eh pernah lo makanan Lebaran ini sudah hampir
sebulan tak tersentuh di rumah dan ketika saya bawa ke kos, cuma dapat bertahan
tidak lebih dari dua jam wekwkewkek
5.
Opor dan Ketupat
Opor dan ketupat lagi-lagi bukan dalam
ajaran Islam. Tradisi Jawa yang kental, merasuk bagi kami pemeluknya, terutama
yang tinggal di Jawa lalu menyebar ke seluruh pelosok negeri. Akhirnya muncul
ungkapan, Lebaran tanpa ketupat dan opor, tidaklah komplit.
Memang sih, aneh rasanya berlebaran tanpa
makan opor dan kupat. Tapi ketika tiga hari berturut-turut makan opor dan
ketupat terus, bosen juga ya.
Oh ya, kupat atau ketupat sendiri merupakan
ungkapan Jawa yang berarti ngaku lepat, senada dengan tradisi sungkeman di
atas.
6.
Membagi-bagi Uang sebagai angpao
Membagi-bagi uang, ternyata bukan hanya
tradisi milik orang China melalui angpaw. Kitapun ikut-ikut membagi uang kepada
sanak saudara, keponakan, tetangga dan lain-lain saat Lebaran. Entah maksud dan
tujuannya apa. Saya sendiri kurang jelas visi misinya.
Menariknya lagi, uang yang dibagikan
haruslah baru. Alhasil marak deh penjual uang baru di jalanan bagi mereka yang
tidak sempat menukarkannya ke bank-bank. Saya sendiri pernah mendapat uang baru
ini beserta dengan nomer serinya yang masih urut, lalu saya simpan di bawah
kasur tidak saya buat jajan.
7.
Mengajak serta Saudara/teman dari kampung halaman
bekerja di kota
Setiap kali Lebaran usai, Jakarta dan
kota-kota metropolitan lainnya selalu memiliki kendala sama. Jumlah warga
membengkak. Ternyata, kebiasaan mengajak serta saudara atau teman di daerah
asal untuk bekerja di kota besar, masih terjadi. Pertemuan antar saudara dalam
tradisi silaturahmi selalu ditutup dengan,”Kalau ada pekerjaan, ajaklah saudara
kau itu agar bisa sesukses kamu sebagai karyawan di pabrik itu. Atau bisa
bantu-bantu kau jualan nasi goreng di Jakarta”
Pemprov DKI bahkan sudah mengeluarkan
larangan bagi warganya untuk mengajak serta orang lain non DKI masuk pasca
Lebaran. Ya tujuannya agar jumlah penduduknya tidak meledak, perekonomian juga
tidak goncang serta yang pasti agar jumlah tuna wisma di Jakarta tidak semakin
banyak.
8.
Memborong dan menumpuk bahan tertentu
Kalau yang ini, biasanya dilakukan oleh
penjual atau pedagang. Menumpuk stok bahan jualan inilah yang kemudian memicu
naiknya harga baik saat menjelang Ramadhan maupun saat menjelang Lebaran.
Padahal ya jika dihitung secara hukum ekonomi,
harga-harga itu harusnya turun lo. Kan bunyinya,”Makin banyak permintaan, harga
akan semakin turun (selama suplainya tetap).
Tapi sepertinya momentum Lebaran memang
saat untuk mencari untung dan laba besar. Kenaikan harga berlipat, membuat
sebagian saudara kita rela menumpuk stok agar tidak kehilangan momentum ini.
9.
Bersilaturahmi melalui HP dan Sosmed
Masih banyak di antara kita yang
mengabaikan betapa pentingnya silaturahmi dan tatap muka. Dengan bertatap muka,
kita dapat saling mengerti dan memahami perasaan satu sama lain.
Namun seiring perkembangan zaman, kita
sering mengabaikan silaturahmi dan memilih untuk sekedar menyapa melalui HP. Masih
mending kalau menelepon, la kalau sekedar pakai teks? Duh duhhh
Lalu di malam Idul Fitri yang selayaknya
diisi dengan takbiran, kita malah sibuk di pojokan, mengirim WA, SMS dan aneka
teks lainnya melalui sosmed. Akibatnya, malam itu jaringan seluler penuh lalu
down sehingga pesan malah tidak terkirim hahahah.
Yap itu tadi 9 hal yang sering kita lakukan saat Lebaran. Patut
diingat, kita memang menerima THR, lalu uangnya kita belanjakan untuk beli
baju, makanan, kebutuhan lain-lain yang ujungnya uangnya kembali mengalir ke
konglomerasi, para pengusaha guide-guede. Siapa yang kaya? Siapa juga yang
hanya akan seperti-seperti ini saja meski menerima dua kali gaji dalam sebulan?
Bersama, mari kita rubah cara pandang kita. Bukan sok
keminter atau sok suci, tapi hal-hal diatas bisa dilogika kok, dipertimbangkan
dengan akal sehat. Saya sudah mulai dari diri saya, kamu..?
Oh ya, bagi yang kurang setuju atau tidak sependapat, boleh kok meninggalkan komennya ...
😀😀😀
BalasHapus