Curug Sewu, Obyek Wisata Air Terjun Andalan Kendal |
Gratis?? Ya tidak juga sebenarnya, wong ya harus menuju ke lokasi dengan biasa sendiri. Namun setidaknya, penyediaan akomodasi dan homestay untuk menginap serta makan selama di sana, tentu sangat membantu bagi blogger berkantong tipis seperti saya. (inget, kantongnya ya yang tipis, isinya ya sama saja ahahaha). Apalagi selalu ada embel-embel masuk destinasi wisata juga gratis...ahahahahahaiii.
Tapi lebih dari itu, sebagai petani konten, tentu ada tujuan lain dong. Yap tentu...memanen konten untuk kemudian dipajang di instagram. Jarang-jarang kan bisa piknik bareng gini bersama rekan blogger lain. Sekalian silaturahmi juga dapat saling memanfaatkan jasa memotret satu sama lain hehe
*
Sayangnya, karena mendapat amanah mengurus darah rekan di PMI, saya baru bisa berangkat jam 17.00. Memilih jalur Semarang-Boja baru ke Patean, saya membayangkan akan melewati banyak hutan dan sepi. Rute ini saya pilih karena sepertinya lebih dekat daripada harus lewat Kendal-Weleri baru ke Patean.
Apalagi saya ingin banget naik motor ke sana. Agak was-was memang karena saya pikir jalurnya hutan dan sepi manusia. Kalau setan sih saya gak takut, tapi kalau setan yang wujudnya manusia kayak begal yang di tipi-tipi, baru saya keder.
Sok sokan jadi rider...lama gak touring sih |
Dan ternyata (baru saya ketahui di perjalanan pulang siang harinya), kebun cengkeh yang sangat indah terpapar di kanan kiri. Ini sangat indah gaes, beda banget dengan pemandangan gedung dan rumah-rumah elit (ekonomi sulit :D layaknya pemandangan di kota). Selain itu ada juga beberapa petak kebun jati serta beberapa sungai yang mengalir yang masih cukup jernih di antaranya Kali Bodri yang kalau kita lewati di kawasan Kendal, warnanya sudah brubah jadi coklat kayak seragam Pramuka kumel.
*
Karena sampai sudah malam, saya melewatkan suguhan welcome dance Tong Tong Tek yang dipersembahkan rekan-rekan Deswita Permata Bukit Kendeng (PBK) sebagai pengelola deswita di sini. Suguhan opor ayam menjadi pemikat perut yang sudah berkolaborasi dengan harmoni EDM-nya The Chainsmoker tapi yang ini lebih ngawur karena tingkat lapar yang tak terbendung.
Usai berdiskusi dengan pengurus dan anggota FK Deswita (yang berdikusi mereka lo ya, saya kan bukan pengurus, jadi cuma nonton saja), diperoleh kesimpulan bahwa pengelola Deswita bukanlah pengelola obyek wisata. Pasalnya jika pengelola obyek, mereka wajib menjual tiket masuk.
Sedangkan pengelola deswita, dituntut mampu menawarkan paket-paket wisata yang menjual potensi di desanya masing-masing. Ya bisa destinasi atau atraksi. Jadi pengelola deswita sangat dituntut kreativitasnya dalam mengolah paket-paket wisata ini.
Pengelola Deswita harus kreatif yeaayy |
Lalu sekira jam 23.00, kami belum kembali ke homestay karena masih ada suguhan reog dari Bujang Ganom. Uniknya, di sini terjadi kesurupan massal. Ada belasan pemuda yang tiba-tiba trance, padahal beberapa menit sebelumnya saya masih asyik motret bloodmoon.
Uniknya, mereka dapat diajak berkomunikasi. Diajak bercanda juga bisa lo. Inilah bedanya reog di Curug Sewu dan di tempat lain.
Bedanya lagi, mereka tidak dapat menulari kesurupan ke orang lain selain anggota mereka sendiri. Pasalnya untuk dapat dimasuki roh halus, mereka wajib menjalani ritual tertentu serta membuka cakra diri termasuk puasa mutih 40 hari dan tidak boleh melakukan mo-li-mo (main/judi, madon/berzina, maling/mencuri, minum/mabuk dan madat/narkoba).
"Jadi tidak sembarang orang. Dan yang kami undang untuk merasuki adalah danyang kampung sini bukan setan. Ini adalah roh putih bukan roh hitam, jadi mereka yang kesurupan masih bisa diajak berkomunikasi bahkan ada yang dapat membaca al Quran dengan baik," terang sesepuh Bujang Ganom, Pak Teguh.
*
Penampilan Bujang Ganom belum paripurna, namun sebagian peserta sudah kembali ke homestay untuk beristirahat. Apalagi jam 04.00, kami sudah harus standby untuk memburu sunrise di salah satu spot unggulan deswita ini. Tapi karena menarik, saya, Anji dan Arsenta masih terus bertahan sampai bubar.
Padahal di antara kami belum tahu dimana kami akan stay malam ini haha...tapi karena suguhan menarik ini, kami rela harus mencari homestay paling belakangan. Dan terbukti, kami baru masuk rumah sekitar jam 01.00. Beruntung pemilik rumah yakni pak Supriyanto ternyata juga pengurus Deswita PBK yang juga sekaligus Kadus di sini. Jadilah kami ngobrol panjang kali lebar sama dengan luas hingga pukul 03.00. Cukuplah setengah jam untuk memejamkan mata lalu berburu sunrise.
Oh ya gaes, satu hal yang kami alami di sini di sepanjang malam itu adalah angin yang terus berhembus. Hawanya memang tidak dingin, namun angin yang menghembus terus menerus membuat hawa menjadi lebih dingin.
Sebelum mencapai bukit, kita akan melintasi perkampungan warga Aceh di desa ini. Saat ini masih ada 13 KK yang bermukim di sana. Mereka pindah dan ditampung Pemkab Kendal sejak saat GAM masih merajalela di sana.
Kampung Aceh di Curug Sewu |
Kondisi ini masih berlangsung ketika kami harus berjalan kaki kurang lebih 10 menit menuju Bukit PBK. Angin terus menghembus dengan cukup kencang hingga kami menggigil ketika harus menunggu Mentari (bukan anak gadis tetangga lo ya) di bawah joglo yang terbuka kanan kirinya.
Sayangnya, matahari sepertinya kurang bersahabat. Hingga 06.30 ia masih malu menampakkan jelitanya. Tapi ya tetap harus dimanfaatkan moment ini meski warnanya sudah tak lagi keemasan, kan ya eman-eman kalau tidak mengeluarkan jurus pamungkas si Fuji X-A2.
Dari sini, akan terlihat Laut Jawa dan pesisirnya di sisi utara. Di sebelah timur, Kota Semarang nampak gemerlap meski kecil-kecil, sementara di selatan kegagahan Gunung Ungaran masih dominan dibanding Merbabu dan Merapi (ya iyalah secara ia berada di depannya jika dilihat dari sudut ini).
Di bukit ini, sudah terdapat beberapa gazebo dan spot selfie. Cukuplah untuk menambah daya pikat Deswita PBK selain obyek utama air terjun Curug Sewu yang akan kami kunjungi siang harinya. Jadinya, saya memilih memotret biji kopi yang keemasan dan juga bunganya yang harum seperti kembang melati.
Dan ketika mengunjungi obyek Wisata Curug Sewu, saya baru tahu kalau obyek ini dikelola oleh Pemkab Kendal. Sementara untuk air terjunnya berada di wilayah milik Perhutani. Alhasil, pengunjung harus membayar dua kali jika hendak melihat dari dekat air terjun tersebut.
Secara penataan, obyeknya sudah cukup baik. Sayang sampah masih menjadi kendala terbesar wisata di negeri ini. Kesadaran untuk membuang atau bahkan memanfaatkan sampah, masih minim. Ini juga jadi bahan evaluasi kok bagi pribadi saya, ya kayak bercermin gitu lah.
Jadi, apapun sebaiknya kita kelola sendiri sampah-sampah kita terutama sampah plastik mengingat masih minimnya pemanfaatan sampah. Tapi apa ya kita harus membawa pulang sampah plastik hasil piknik? Kalau kamu gimana?
Saya pilih bawa tumbler owk |
Baca juga: http://www.guswahidunited.id/2018/02/menelusur-jejak-merbab-merapi-di-dewi.html
Aku beberapa kali datang ke curug sewu mas. Kalau dekat air terjunnya langsung merasa seger dan pengennya langsung jeburan. Tapi sayangnya ga boleh -,-
BalasHapusEeh, aku baru tahu kalo ada kampung aceh. Mestinya bisa singgah lebih lama mas, biar bisa belajar bahasa aceh dan cicipi masakan aceh :D
Nah disitu masalahe...sptnya mereka belum membuka diri utk bersosialisasi dengan wisatawan. Musolanya aja terpisah dengan warga lain...tapi mungkin jika ada waktu lebih, mungkin bisa ajak mereka berbincang ya.
HapusBlood moon nya bagus... Itu di ketinggian ya?
BalasHapusEhmm gak juga sih, di halaman rumah biasa kok. Cuma mmg hrs nyari foreground agar ada pemanisnya. Suwun sdh dibilang bagus, meski tentunya masih banyak yg lbh bagus.
Hapusyah saiya ketinggalan nulis hahahaha...
BalasHapus...hah biasa.
HapusMantab mas bro
BalasHapusSuwun brader..isone mung kuwi tok wekwekwke
Hapus