James dan Ilse menari Tayub |
KETIKA mendapat undangan untuk
mengikuti Site Performance di Blora pertengahan Agustus lalu, saya langsung
mengiyakan tanpa babibu. Bagi saya, ini merupakan tantangan sekaligus
kesempatan karena kami (sebagian) para blogger Semarang tidak mendapat
kesempatan mengikuti International Gamelan Festival (IGF) 2018 di Solo.
Bangun pagi buta (saya adalah
bangsawan, bangsa tangi awan :D), terbayar lunas. Meski sempat bingung harus
ngapain dan bagaimana, perlahan saya memahami arti penting Site Performance
ini.
Kedatangan kami di Blora, disambut
tarian Barong. Di sisi hutan jati Desa Ledok Kecamatan Sambong, anak-anak
dengan lincah memainkan gamelan. Tidak itu saja, gaya mereka juga menggemaskan
saat memainkan barongan, semacam tarian topeng sebagai suguhan pembuka.
Tentu saja ini sangat menarik. Anak-anak
usia SD dan SMP, sudah sangat mahir bahkan lancer djaya bermain kesenian
tradisional. Namun saya masih belum ngeh...mungkin saya lapar. Dan belum genap
ke-ngeh-an saya, rombongan sudah bergeser ke lokasi pengeboran minyak.
Di dalam mobil, saya terus
bertanya-tanya apa tujuan kegiatan ini. Apalagi kami sudah harus berada di
lokasi pengeboran, apa pula hubungannya? Apakah mereka bersaudara.
Ah beruntungnya saya yang dalam
kebingungan, bertanya pada orang yang tepat. Fafa Utami yang belakangan saya
ketahui dari Bidang Kurasi dan Produksi Ditjen Kebudayaan Kementrian Pendidikandan Kebudayaan RI, menjawab semua ketidakpahaman saya.
“Jadi mas, site performance ini
merupakan kelanjutan dari IHG 2018 yang sudah digelar kali kedua di Solo. Seluruh
peserta baik dari dalam dan luar negeri, kami ajak mengetahui langsung darimana
kesenian serta gamelan itu berasal. Sebelumnya kami sudah ke Karanganyar, Solo,
Wonogiri, kini ke Blora, besok ke Boyolali. Jadi kami sengaja mencari akar
budaya itu sendiri,” terangnya ditimpali wajah ngowoh saya yang tak sadar
ternyata saya di bawah terik matahari. Makin gosong deh nih hehehe
Jadi, kegiatan mengunjungi pengeboran
minyak ini bukan sekedar wisata atau foto-foto biasa. Lahirnya barongan,
dipercaya lekat dengan keberadaan aktivitas para penambang minyak tradisional
yang menggunakan pompa dengan tangan untuk menimba minyak mentah (sekarang sih
sudah pada pakai mesin). Keberadaan mereka, sangat dekat dalam kelahiran dan
perkembangan barongan seiring dengan perbaikan ekonomi warga sekitar.
Terjawab sudah.
Eh eh..belum sempurna mulut saya
mengatup, rombongan sudah harus kembali bergeser. Kali ini kami akan menuju ke
Desa Ngelo Kecamatan Sepu yang berjarak kurang lebih 40 menit dari lokasi ini. Ngapain
lagi nih pikir saya?
Tanda tanya besar terjawab, kami akan
naik kereta uap...cihuiiiii. Pasalnya di kawasan itu masih terdapat loko uap yang
dihidupkan kembali oleh Perhutani dan diberi tajuk Heritage Loco Tour. So, apa
hubungannya dengan seni budaya Blora?
Tunggu dulu, banyak bertanya memang
baik, tapi ada baiknya juga mellihat apa yang menyambut kami di sana. Dan beberapa
penari cantik, sudah ready geshhh. Mereka akan mengajak pengunjung menari Tayub.
Aih di sini kembali saya memahami...ya memang dasar agak lemot, maklum belum
sarapan hahaha.
Usai menyantap Sate Blora tiga porsi,
pikiran saya mulai jernih. Beberapa peserta dari luar negeri, nampak sudah asyik
menari Tayub. Meski dengan gerakan patah-patah, mereka perlahan bisa mengikuti
para penari yang gemulai.
Nah di akhir cerita, eh di akhir
acara...kami semua diberi kesempatan menjajal loko uapnya. Dua gerbong besar
yang sudah disulap jadi ruang penumpang yang cukup nyaman, penuh sesak oleh
kami yang penasaran. Di situ pula saya mengenal beberapa nama rekan baru dari
negeri sebrang, sebut saja Ilse de Ziah dan James Mc Glynn dari Irlandia,
Catherine dari Rusia yang ternyata sudah mahir berbahasa Indonesia.
Ada pula Elsje Plantema, yang ternyata
merupakan pimpinan kelompok seni Wido Sari Amsterdam. Wao wao...di Belanda sana
malah ada kelompok seni, sementara saya main gamelan saja tidak bisa hiks hiks
malu saya. Kamu malu ndak? Oh ya, kelompok seni sudah berusia 30 tahun lo gessh.
Sangar to...
*
Adalah Kepala Bagian Umum dan
Kerjasama Ditjen Kebudayaan Kemendikbud Ahmad Mahendra yang menjelaskan
kegiatan dengan tajuk Anjangsana Kebudayaan itu, mengunjungi beberapa destinasi
wisata dan seni budaya, termasuk di Kabupaten Blora.
Sebelumnya pihaknya sudah kegiatan yang
terpusat di Solo. Untuk melengkapi IGF tersebut, pihaknya juga mengajak para
peserta festival untuk melakukan site performance demi mengetahui akar budaya
gamelan.
Dipilihnya Blora, karena lokasi ini
merupakan asal seni barongan dan tayub. Untuk itu pula, mereka diajak
mengunjungi asal muasal kesenian ini.
"Ini dalam rangka pemajuan
kebudayaan dan menumbuhkan ekosistem kebudayaan dalam sebuah masyarakat itu.
Rombongan juga kami ajak melihat pengeboran minyak tradisional di Desa Ledok
dan naik KA uap di Cepu," tukasnya.
Diakuinya, Site Performance memiliki
tujuan dari akar budaya gamelan. Sehingga, siapapun yang melestarikan, berarti
mereka sudah membangun kebudayaannya sendiri.
"Oleh karena itu, Site
Performance ini selain gamelan, ada juga pewayangan yang juga menggunakan
gamelan bersama Ki Manteb, kemudian ada budaya Ketek Ogleng, dan kini di Blora
kita menyaksikan seni budaya Barongan dan Tayub, yang juga merupakan senu
budaya menggunakan alat musik gamelan," ujarnya.
Apalagi, lanjutnya, di Kabupaten
Blora sendiri, merupakan daerah penyuplai kesenian budaya Tayub terbanyak,
termasuk para penarinya yang merupakan perempuan, disebut Ledek, pun berasal
dari Blora, yang saat ini terus banyak menari di Keraton Solo.
"Sehingga, dengan begitu membuat
Blora menjadi posisi penting sekali di dalam konteks budaya gamelan, oleh
karena itu, Blora sangat perlu dikunjungi sekali," imbuhnya.
Wakil Bupati Blora Arief Rohman menambahkan
saat ini Blora tengah mengembangkan potensi wisata budaya dan wisata alam yang
ada di daerah tersebut. Hal itu dikarenakan daerah Blora-Cepu, sebagian
daerahnya merupakan daerah hutan, dan penghasil minyak, sehingga untuk saat ini
pemerintah setempat terus mengembangkan potensi wisata budaya dan alam yang ada
di daerah ini.
"Kami merupakan daerah penghasil
minyak, sampai saat ini, dan masih terus menggunakan alat tradisional dari dulu
ini ternyata dengan menimba saja, sudah menghasilkan minyak, sehingga ekonomi
sebagian di Blora ini, ditopang dari minyak ini. Sehingga, perkembangan budaya
pun juga akan pesat disini karena berkaitan," ujarnya.
Bahkan, untuk pengelolaan di wilayah
pusat minyak itu, dikelola oleh tiga unsur, termasuk Pokdarwis dan juga
Pertamina, BUMD, dan kelompok Bumdes, serta kelompok sadar wisata di desa
ini.
"Sedangkan untuk anggaran
pengembangan kebudayaan di Blora ini, sudah mencapai ratusan juta. Karena di
Blora ini sudah banyak kelompok untuk Barongan di desa-desa, karena peminat
Barongan, Karawitan, dan Gamelan disini sampai anak-anak pun sudah memainkan
gamelan dan budaya lain disini, jadi anggarannya, jelas banyak,"
katanya.
Diharapkan, dari adanya kunjungan
ini, bisa menimbulkan interaksi dan apresiasi saat melihat situs-situs
perkembangan seni, budaya, dan tradisi di empat kabupaten tersebut, termasuk di
Kabupaten Blora.
Catherine dan Ahmad Mahendra belajar Tayub |
Waaaah...mantaab banget ni mas Bro..jadi pengen ke Blora juga nih suatu saat.. Gmn kalo mas bro jadi guide nya..? Hehe..
BalasHapusSiap mbak e...cocok harga langsung angkut hahahaha
Hapusbaru tau ada acara beginian disitu
BalasHapusIya nih dr Kemendikbud...taraf internasional lo, sdh 2 x lag
Hapusaku juga suka nih perjalanan menyusuri kesenian dan budaya, bisa jadi tambah ilmu dan wawasan. mksih infonya Gus , GGMU
BalasHapusSami2 om Klimis alisnya hehe
HapusAcaranya bagus banget ini. Jadi nggak cuma sekedar tau soal barongan dan gamelan, tapi benar-benar dibuat paham sampai ke asal muasalnya. Orang luar selalu antusias untuk belajar soal seni & budaya Indonesia. Sementara kita? Hukzz... malu aku tuh :(
BalasHapusBetul sekali...penyelenggara acara ini tahu banget harus bagaimana. Salut. Saya suka saya suka...betul betul betul.
Hapus"Jadi, kegiatan mengunjungi pengeboran minyak ini bukan sekedar wisata atau foto-foto biasa. Lahirnya barongan, dipercaya lekat dengan keberadaan aktivitas para penambang minyak tradisional yang menggunakan pompa dengan tangan untuk menimba minyak mentah (sekarang sih sudah pada pakai mesin). Keberadaan mereka, sangat dekat dalam kelahiran dan perkembangan barongan seiring dengan perbaikan ekonomi warga sekitar.
BalasHapusTerjawab sudah."
Maaf, Oom. Paragraf ini maksudnya gimana ya?
Apa hubungannya keberadaan aktivitas para penambang minyak tradisional dengan kesenian barongan? Apakah saat mereka di waktu senggang bermain barongan? Atau gimana?
Apa hubungannya keberadaan para penambang minyak tradisional dengan perkembangan kesenian barongan dan juga naiknya tingkat ekonomi warga?
Saya cari di paragraf-paragraf selanjutnya nggak ada keterangannya :)
Maaf banyak tanya ya, Oom
Maksude, seni barongan lahir n besar krn warga bekerja di tambang minyak, hasilnya utk nanggap barongan. Jd ekonomi berkembang, seni budaya jg
Hapus