PANGGIL ia Gus. Entah siapa nama yang sebenarnya. Toh
juga menurut Shakespeare, what is the name. Mungkin hanya untuk KTP dan
pemesanan tiket saja nama diperlukan. Selebihnya, panggil ia Gus, tidak lebih.
Ia juga bukan anak kyai atau pembesar agama lainnya
yang biasa menggunakan nama panggilan ini. Mungkin hanya sekedar gagah-gagahan,
karena faktanya, ia nyaman dipanggil panggilan itu.
Kini lelaki muda itu telah duduk di baris 27K di
pesawat yang akan membawanya ke Kuala Lumpur International Airport (KLIA). Sebelah
kirinya telah lebih dulu duduk seorang bapak-bapak yang dari gerak-geriknya,
tidak ingin diajak berbincang. Padahal dalam hati, ia ingin ngobrol sepanjang
perjalanan, melupakan beban harus naik pesawat, suatu hal yang sangat tidak
disukainya.
“Permisi, saya di duduk dekat jendela,” seorang
perempuan berjilbab membuyarkan lamunan kekhawatirannya. Bapak di sebelahnya
sudah lebih dulu memiringkan lutut memberi jalan, kini gilirannya.
Usai memberi jalan, kembali diraihnya Dear Nathan
karya Erisca Febriani. Sepertinya ia sudah tidak ingin berniat ngobrol dengan
siapapun, buku yang dibawanya terlalu menarik untuk tidak dihabiskan selama hampir
2 jam penerbangan ini.
“Ceritanya mirip Dylan 1990, sangat mirip bahkan. Tipikal
anak muda tahun 90-an gitu deh.” Tiba-tiba gadis di sebelahnya memecah
keheningan di antara mereka. Keheningan yang canggung mengingat phobia yang
dialami Gus.
“Suka baca novel?” gadis itu melanjutkan pertanyaan.
“Tidak juga. Hanya untuk membunuh waktu. Saya hanya
ingin segera landing, jadi saya piker membaca buku dan menghabiskannya akan
membunuh waktu terbang,” ujar Gus sedikit berdiplomasi menutupi rasa takutnya.
“Ohhh. Kalau memang suka baca novel, cob abaca karya-karya
Tere Liye atau Ika Natasha. Atau yang lebih lama karya si Ayu Utami atau Dewi
Lestari, sangat berbobot. BTW, ke KL untuk urusan kerja?” gadis itu nyerocos.
“Ehm saya mau travelling saja.”
“Lo mas ini bloger? Atau vloger?”
“Ya dua-duanya gitu deh. Tapi kali ini sepertinya
saya hanya akan menulis dan memotret. Cukup banyak utang video yang belum saya
edit. Rasanya seperti dikejar-kejar tukang tagih tiap kali inget. Hehehe,” Gus
terkekeh sendiri mengingat banyaknya deadline yang mesti diselesaikannya.
“Oh begitu. Kapan-kapan boleh dong saya kunjungi
blog-nya. Saya juga suka baca-baca blog travel dan wisata, apalagi yang ditulis
dengan cara berbeda tidak seperti kebanyakan. Bosen kalau hanya blog yang cerita aku kesini naik ini itu, di sana
ngapain aja dan sebagainya. Semoga cerita
mas tidak seperti itu, anti mainstream.” Pengucapan anti mainstream dirasa Gus
seperti sebuah penekanan yang harus lebih diperhatikan. Tapi ia cukup percaya
diri, blognya bukan ecek-ecek, apalagi blog yang mainstream seperti kebanyakan.
Ia berbeda. Bahkan dalam kesehariannya, ia sudah ciptakan beda itu mulai dari
style hingga gaya menulis.
Penampilannya memang cukup unik. Celana pendek, topi
dibalik, t-shirt yang selalu bergambar MU atau jersey, menjadi pembeda. Ia coba
pertahakankan brand itu selama ini, brand tentang Gus yang bloger penyuka MU.
“Ini kartu nama saya, silakan jika mau intip-intip
blog saya. Lengkap alamatnya disitu beserta media kit-nya,” tuturnya sembari
mengulurkan kartu nama dengan logo lelaki mengenakan topi terbalik bergambar MU
memunggungi siapapun pembaca kartu nama ini.
“OK mas makasih, saya Riyanti,” si gadis mengulurkan
tangannya. “Silakan dilanjut membacanya, saya menonton video saja.”
Tak ada lagi perbincangan setelah itu selain uluran
bantuan memberikan makan siang dari flight attendant. Bagi Gus sendiri, ini
bukanlah makan siang yang diidamkannya. Namun dengan menikmatinya perlahan,
setidaknya itu bisa membunuh rasa takut terbangnya. Ia mencoba menikmati apapun
yang ada pesawat ini. Apapun.
*
PERJALANAN menuju KL dilanjutkannya dengan
menggunakan KLIA Express. Tiket seharga 55 MYR, dipilihnya dengan harapan segera
sampai di hotel. Bukan pilihan terbaik sebenarnya karena masih ada moda lain
yang lebih murah seperti KLIA atau bus. Ia sendiri tak memiliki banyak uang.
Beberapa ratus MYR menjadi uang saku selama
perjalannya 4 hari 3 malam di Negeri Jiran ini. Perjalanan inipun bukan yang
diharapkannya mengingat banyaknya utang deadline
tulisan dan video yang harus dikerjakannya.
Namun dua pekan sebelumnya, sebuah email dari
seseorang yang tidak dikenalnya tiba-tiba memberikan tiket pesawat Jakarta-Kuala
Lumpur PP, termasuk kode booking hotel yang setelahnya diketahui berbintang 5. Hotel
Majestic, salah satu yang terbaik di sini. Hotel bernuansa heritage yang dibangun pada 1928.
Meski ragu menerima pemberian ini yang dikatakan
oleh si pemilik email sebagai hadiah, entah hadiah atas apa, Gus akhirnya
menerimanya. Toh tidak ada yang akan membahayakan nyawanya. Jikapun membahayakan,
ia juga sudah pasrah atas hidupnya kepada Sang Pencipta. Sebuah kejadian besar
dalam hidupnya, membuatnya tak lagi takut akan kematian, meski tetap saja ia
memilih takut terbang. Takut ketinggian lebih tepatnya.
Menerima ‘hadiah’ sendiri bukan tanpa tantangan. Pasalnya,
Gus tetap harus mengatur sendiri itinerary-nya
selama di KL, mengatur sendiri uang saku yang diambilnya dari jumlah
tabungannya yang tak seberapa, menata sendiri jadwal dan waktu yang pas untuk
berkunjung ke destinasi pilihannya.
Turun di KL Central yang merupakan stasiun terpadu
dari seluruh kereta baik MRT, LRT, Komuter dan juga monorel ini, ia berganti
kereta menggunakan Komuter KTM ke Stasiun Kuala Lumpur. Hotelnya hanya berjarak
200 meter dari stasiun itu, cukup berjalan kaki.
Proses check in selesai dan benar adanya, seluruh
hotel sudah dibayar oleh si pemberi hadiah. Hingga saat itu, ia hanya berpikir
si pemberi hadiah melakukan semua ini karena ulang tahunnya di awal bulan. Ia tidak
terlalu yakin, tulisan blognya dapat memenangkan lomba dengan hadiah sebesar
ini. Entah. Ia sama sekali tidak merisaukannya, hanya menikmati semua
perjalanan ini. Toh hidup kadang penuh dengan kejutan, manusia hanya menjalani.
*
RISAU berada di kamar usai perjalanan panjanga
mencapai 1.470 KM dari kota tinggalnya di Semarang, Gus beranjak. Usai mandi,
solat dan berganti pakaian, ia memutuskan pergi ke pusat kota. Pusat Kuliner di
Jalan Alor menjadi tujuannya.
Ia menyempatkan diri mengambil foto Crystal Fountain
di depan KL Pavilion Mall. Sebuah karya seni yang menggambarkan 3 mangkok
tersusun di tengah air mancur. Konon, ini merupakan perpaduan 3 ras yang
menyusun Bangsa Malaysia yakni Melayu, India dan China yang rukun demi kejayaan
negeri.
Beranjak ke Jalan Alor, di sana, ia menemukan
beberapa makanan halal yang pas di lidahnya. Sup tomyam dengan tambahan omelet,
nasi putih dan es teh tarik menjadi pilihan yang pas untuk mengisi perut yang
terakhir disapanya dengan makanan dari pramugari. Total 44 MYR dihabiskannya
untuk makan malam yang cukup nikmat terutama karena berada di sentra kuliner,
berada persis di tengah jalan.
Usai menyesap sebatang rokok, ia beranjak. Belum sempat
meraih dompet dari saku, seorang pemuda mendekatinya. Dengan bahasa yang tidak
terlalu dipahaminya, pemuda itu membuka berlembar-lembar kertas foto berusaha
menunjukkan gambar-gambar dari sepertinya sebuah panti asuhan. Gus menangkap
maksudnya, pemuda ini meminta sumbangan.
Namun sebuah kode dari pramusaji membatalkan niatnya
merogoh kocek untuk membantu. Tidak lama berselang, seorang pemudi gantian melakukan
hal serupa, Gus menolak dengan halus. Silih berganti, kini pengamen datang lalu
peminta-minta.
“Gak beda ama di Semarang dan Jakarta, banyak sekali
pengamen dan peminta-minta datang saat orang sedang makan. Podo wae iwk,” ujarnya lirih dalam hati dalam logat Semarangan yang
kental.
Tak menunggu lama, ia beranjak ke Jalan Sultan
Ismail untuk memburu MRL. Tujuannya adalah Menara Kembar Petronas yang menjadi
landmark kota ini. Letih yang dideranya membuatnya memilih sedikit mengeluarkan
uang namun berhemat tenaga daripada harus berjalan kaki 1,6 Km melintasi KLCC menuju
menara.
Turun di Bukit Nanas, Gus menyusur Jalan Ampang,
langsung menuju angle terbaik untuk
mengambil gambar menara yang pernah heboh di film Entrapment. Malam cukup
larut, namun pemburu Menara Kembar masih banyak, masing-masing sibuk dengan
kamera HP-nya, berselfie. Gus memilih di pojokan, mencari angle yang menurutnya
paling berbeda.