SUARA
angin berdesir tak begitu kencang. Tapi entah, hatiku menderu begitu cepat. Papan
penunjuk ‘Anda memasuki Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran’ membuat
hatiku limbung. Jarak 22 km dari pusat Kota Wonosari, Yogyakarta ke lokasi ini sudah
kuabaikan dan aku sudah sampai di sini. Aku harus kuat.
Beruntung tanganku
masih kokoh memegang setir. Salah-salah, aku bersama mobil dan segenap kenangan
ini dapat masuk jurang, musnah ditelan dinginnya gunung ini. Ketinggian 700
Mdpl semestinya membuat suasana sejuk, namun langkah ini semakin tersaruk
justru ketika kuinjakkan kembali Embung Nglanggeran yang fenomenal.
Di undakan pertama
saja, kakiku sudah bimbang melangkah. Sepasang kekasih seperti tak merasakan
pilu hati ini, bergandeng tangan membimbing pasangannya melangkah turun.
“Kalau kamu capek, aku
gendong sini,” ujarku menawarkan diri sambil meringis membayangkan jika kau
benar-benar mengiyakan lalu minta digendong pula memutari embung yang memiliki
luas 0,34 hektar dan dibangun tahun 2013 lalu untuk kepentingan pengairan 20 hektar
kebun buah.
“Yakin?” tanyamu
memastikan.
“Ya tak apa asal
pulangnya nanti dipijitin,” sergahku disambut tanganmu yang mencoba mencubit
perut disusul dengan lari-lari kecil kita bekerjaran di tangga naik embung.
Tapi itu satu tahun
lalu. Dan kini, pasangan di depan itu benar-benar mengaduk semua kenangan itu. Pilu,
namun aku sangat merindumu.
Tepat di bibir embung,
bayangmu memintaku memotretmu bersandar di pagar besi berwarna abu-abu, menambah pilu suasana siang itu. Lalu berlari ke arah barat daya, berfoto dengan latar belakang Gunung
Api Purba. Belum puas, kembali kau bergeser ke arah utara, kali ini background
embung menjadi pilihan di frame berikutnya.
Sekilas kulihat wajahmu
berubah menjadi pucat. Kuduga, kamu terlalu capek mendaki tangga embung. Namun demi
melihat senyum dan ajakanmu berfoto di berbagai sudut, kuabaikan wajah pucat
dan perasaan aneh entah apa ini namanya.
Sayang, kemarau panjang
membuat air tampungan embung kosong. Melompong seperti asaku yang kopong. Aroma
lumut kering terbakar surya menyengat indera. Menyesakkan dada demi mengingat
semua tentang kita.
Teringat keinginanmu
untuk menaiki puncak Gunung Api Purba. Terkenang pula janjiku untuk menemanimu
di sana, berfoto di puncaknya. Atau juga cita-citamu untuk memburu sunrise,
berlatar embung di kejauhan.
Kamu juga ingin tahu
lebih banyak tentang kisah 7 KK (Kepala Keluarga) yang menghuni puncak Gunung
Api Purba. Kisah Mpu Pitu yang sudah turun temurun, harus selalu dihuni jumlah
itu tidak boleh lebih, sebuah kepercayaan yang membangkitkan semangat menjaga
kelestarian kawasan.
Kamu juga ingin melihat
lebih dekat Pohon Termas yang getahnya konon mampu menyembuhkan beberapa
penyakit, seizin Allah tentu saja. Apalagi uniknya, pohon ini hanya dapat
tumbuh di tebing-tebing menempel di tebing Gunung Api Purba. Liver, stroke,
batu ginjal hingga lumpuh, kabarnya dapat dibantu penyembuhannya dengan getah
pohon ini.
Mata Air Comberan yang
ada di puncak gunung, juga menggodamu untuk melihatnya lebih dekat. Keistimewaannya
yang tidak pernah mengering meski kemarau sekalipun. Arca Tanpa Kepala yang
ditemukan di Gua Putri juga di puncak gunung, ikut menyeret asamu ke sana.
Atau juga Tapak
Syahadatain yang dipasang 9 orang bersama-sama dengan ritual 3 hari 3 malam. Semua
menarik perhatianmu, seiring dengan jiwa petualang dan rasa ingin tahu yang luar
biasa besar. Dan inilah yang kusuka darimu.
Tak lama sebenarnya,
toh hanya sekitar 50 menit perjalanan untuk mendaki puncak dari embung ini. Sebuah
pendakian yang tentunya tidak akan menguras stamina bagi orang sepertimu, penakluk
puncak beberapa gunung di Tanah Jawa ini.
Di gazebo sederhana
itu, kita sempat menyusun rencana ke puncak. Bermanja-manja, kau senderkan
kepala di dada. Ah dunia sepertinya hanya menjadi milikku saat itu. Waktu berhenti,
hanya untuk memberi bahagia yang ternyata tak akan dapat lagi kureguk
bersamamu.
Siang itu, tepat ketika
matahari menyentuh ubun-ubun, aku kehilanganmu. Diterpa semilir angin
Nglanggeran, aku harus merelakanmu menjauh, bukan untuk sementara, tapi untuk
selama-lama. Bahkan masih terasa sender kepalamu di dadaku, dapat kurasakan
detak jantung yang berdegup kencang kala itu.
Semua berubah ketika batuk
kecilmu tak kunjung reda. Diikuti muntahan darah kental, kamu terhuyung. Beruntung
aku sempat memegang pundak lalu menyandarkanmu, memelukmu. Sesaat itu pula,
kamu kembali muntah. Darah menggenang di seluruh baju yang kukenakan.
Di tengah kebingungan
dengan apa yang terjadi, aku hanya bisa menangis. Seperti saat ini, aku kembali
menangis di tempat terakhir kita berpelukan, sekali, terakhir dan selamanya.
*
Chronic Myelogenous Leukemia (CML) atau dalam Bahasa Indonesia-nya leukimia
mielogen kronis stadium IV. Itu kalimat pertama yang kudengar dari ibundamu
ketika menemuiku, tiga hari pasca kepergianmu.
Tiga tahun penyakit ini mendera tubuhmu, tapi tak pernah kau rasa. Bahkan pusaramu masih basah ketika kubayangkan sel-sel kanker ganas
justru menyerang sel-sel darah putih yang seharusnya melindungi dari serangan benda asing atau penyakit. Sel darah putih ini dihasilkan
oleh sumsum tulang belakang yang karena pertumbuhannya tak lagi normal, justru
membuat fungsi kekebalan tubuh menjadi tidak maksimal.
“Jenis kanker darah ini kebanyakan diderita
oleh orang-orang dengan usia di atas 20 tahun. CML memiliki dua tahap. Pada
tahap pertama, sel-sel abnormal akan berkembang secara perlahan-lahan. Ketika
memasuki tahap kedua, jumlah sel-sel abnormal akan bertambah dengan
pesat sehingga akan menurun secara drastic. Dia menemanimu ke Nglanggeran
demi merayakan ultahmu. Dia tidak ingin mengecewakanmu Nak. Bahkan meski kami
sudah melarang karena kondisinya yang memburuk, ia bergegas ingin menemanimu di
hari spesialmu,” tutur ibu memberi penjelasan yang berubah menjadi kunang di
mataku, dunia berputar lalu gelap.
Ketika sadar, sudah banyak
mata menatapku. Semua sama, semua berkaca-kaca seperti mataku yang sudah lebih
dulu basah, tak ubahnya seperti Embung Nglanggeran.
*
Dan kini, setahun
berlalu, tepat di ultahku aku kembali ke Nglanggeran, tapi tanpamu. Aku hanya
sendiri berkawan kenangan.
Menerawang, kubayangkan
perasaan Didi Kempot yang mencoba menggambarkan lara hatinya melalui lagu Banyu
Langit. Seperti laraku kehilanganmu.
‘Banyu langit sing ono dhuwur khayangan,
watu gedhe kalingan mendunge udan, telesono atine wong seng kasmaran,
setyo janji seprene tansah kelingan. Ademe gunung merapi purbo, melu
krungu swaramu ngomongke opo, ademe gunung merapi purbo, sing
ning langgran wonosari jogjakarta’.
Baca juga kisah roman travel lainnya:
- https://www.guswah.id/2018/08/luluh-dalam-dekap-kota-poros-tengahnya.html
- https://www.guswah.id/2018/09/meramu-keindahan-keanggunan-dan.html
- https://www.guswah.id/2018/09/mencumbu-rindu-dalan-susu.html- https://www.guswah.id/2018/10/menjejak-bahagia-tanah-dieng-catatan.html
lah, embunge gak onok banyune kok'an
BalasHapusKemarau bro...seperti kemarau hati hahaha
HapusNggak ditemani keluarga ya Kang, tapi ada dia yang pasti ikut ke Embung
BalasHapusDitemani tripod mbak hahaha
Hapushok a hok e, dadi kelingan ya mas
BalasHapuspas aku ke sini dulu belum ada embungnya, tahun 2012 sih hihi
Huum kelingan pake banget (padahal yo durung pernah mrene sebelumnya) hahaha
HapusAlirkan doamu..bersama aliran hujan yg mulai membasahi bumi akhir2 ini, yakinlah bahwa dia telah bahagia dalam dekap-NYA..
BalasHapusTokohnya fiktif mbak...jangan terbawa ceritanya hahaha
HapusSalah satu tempat yang pengin bgt aku datengin, nih. Baca cerita2 sejarah di balik tempat wisata itu jadi semakin lihat gunung purba dari deket. Tapiii latar ceritanya bikin mellow, ah....nggak suka sad ending
BalasHapusHarus kesana Ni...naik ke puncaknya yang kemarin belum sempat aku jabanin. Kayaknya bakal dapet view keren banget deh. Eh diagendain saja tuh sama Dispar-nya Gunungkidul yang mau ngajak bloger
HapusPuk-puk kangmas Wahid.
BalasHapusAl Fatihah untuk almarhumah.
Wishing her at the very best place.
Ini roman fiktif mbakyu...cuma tripnya kesana yang beneran, dikemas dalam roman gegara habis baca Ika Natasha hahaha
HapusT.T ga sukaaaaaaa! Cerita sediiiih!!!!!
BalasHapusups sori...
HapusTantangan banget buat aku nulis cerita happy ending deh, tapi tetap dikemas dalam roman fiktif berbalut travelling krn kayake aku cocok passion ini. Suwun PR-nya bro, tantangan itu buatku.
Embung oh embung,aku jadi linglung rak sido ngambung,koyo wong bingung.Karena sakitmu,bikin aku balik kampung mengenangmu sambil ngemplok putu bumbung. Ahhh..embuh..
BalasHapusBocah gemblung...mesti jarang diambung *eh
Hapus