INI adalah kali
keempat Keenan kembali ke Tanah Dhyang. Namun kali ini dengan misi yang berbeda
dari sebelum-sebelumnya. Misi yang diendapnya berbulan-bulan, misi yang
menjadikan jerawat batu ngendon
persis di keningnya, merah, mirip bindi hanya saja ini di dahi laki-laki.
Keenan tersadar, Dieng memang istimewa,
setidaknya baginya. Begitu pula yang dipikirkan jutaan orang yang pernah
mengunjunginya, atau masih berangan-angan mencicipi hawa dingin, berwisata di
tengah aura mistis alamnya.
Hampar kompleks Candi Arjuna, seolah
tidak pernah habis untuk dieksplor. Begitu pula belasan kawah dan beberapa
telaga yang menanti diunggah. Tapi kali ini, misinya beda. Keenan sedang
mengejar cinta, cinta dari seorang dara yang juga pernah dijumpainya, mengantar
pertemuan pertamanya di Tanah Dieng ini. Tanah yang disumpah Kyai Kaladete akan
menemukan kesejahteraan pasca pengorbanannya memiliki rambut gimbal.
Aneesa namanya. Dia seorang gadis
layaknya, tak ada yang istimewa, cantiknya sederhana saja. Tapi bagi Keenan,
kesederhaaan itulah yang membuatnya terpikat, melabuhkan hati untuk kemudian
memagutkan segenap rasa. Tapi rasa Keenan, bukanlah rasa yang mudah
terungkapkan. Ia pendam rasanya selama 12 purnama, atau sejak pertama mengenal
Aneesa.
Iapun bersumpah akan mengorbankan
hari-harinya, hidup dan perjuangan demi cintanya. Terombang-ambing di bak truk
yang membawanya melalui Karangkobar dari Banjarnegara, angannya beranjak. Jika
biasanya ia ke Dieng melalui Wonosobo, jalur yang juga biasa digunakan
wisatawan lainnya, kini ia harus menempuh jalan ini. Jalan yang luar biasa
mengular, berkelak-kelok naik turun bukit, namun memiliki pemandangan yang
sangat indah. Terbayar lunas perjuangan pertamanya.
Di Pasar Batur, Keenan harus bertukar
bak truk dari yang semula mengangkut sayur, kali ini bersama dengan tumpukan
karung-karung beraroma menyengat. Di ujung jalan masuk Candi Arjuna, barulah ia
paham itu adalah pupuk kandang yang akan digunakan untuk menyuburkan tanaman
kentang.
“Pantas baunya seperti mulut naga yang
puasa tujuh bulan,” gerutunya dalam hati.
Di gerbang candi, Keenan ragu. Apakah
akan meneruskan langkah, atau memutuskan ke lokasi lain. Namun keyakinan
mengalahkan keraguan. Langkahnya mantab, demi cinta yang mungkin sudah
menunggunya.
“Mas, mas tolong fotoin dong. Latarnya
Candi Arjuna tapi harus kelihatan bukit dan langitnya ya. Sebentar saya rapikan
dulu kainnya biar lebih keren,” pinta seorang ibu berbaju hijau yang sepertinya
bosan ber-swafoto sembari merapikan kain berwarna putih dengan corak hitam yang
menjadi kain penutup wajib bagi siapapun yang masuk ke kompleks candi. Dan demi
melihat kehadiran Keenan, segera ia mengajukan permintaan bantuan. Keenan-pun
menurutinya sembari menebar pandangan, jangan di antara mereka terselip cinta
yang sedang diburunya. Tapi ia salah. Tak ada seorangpun gadis di antara
mereka. Beberapa ibu PKK memang mengajak anak gadisnya untuk tamasya, tapi
mereka masih balita, belum pantas jadi cintanya.
Kekecewaannya sedikit terobati kala
berjalan keluar dan menemukan Pendopo Soeharto-Whitlam. Dia teringat, bagaimana
dulu di tahun 1974 Presiden RI Soeharto bertemu dengan PM Australia Gough
Whitlam untuk membahas dukungan terhadap integrasi Timor Timur oleh RI. Meski
hanya 15 menit dan di tempat terpencil kala itu, setidaknya Dieng telah kembali
menjadi saksi sejarah. Mungkin pula kali ini waktu berpihak padanya, Dieng juga akan bersaksi atas cintanya.
Tak ditemukannya belahan hati di Arjuna,
memaksanya bergegas ke selatan. Kawah Sikidang menjadi tujuan, toh harga tiketnya
juga cuma Rp15 ribu untuk dua destinasi itu. Keenan yakin, cintanya berada di
sana. Sebulan lalu ketika mengunjungi Dieng bersamanya, cintanya itu pernah
berujar ingin memulai kehidupannya di masa mendatang di tanah ini. Baginya, itu
adalah tanda untuk ‘menembakkan peluru cinta’.
“Entah mengapa, aku pengin sesuatu yang
spesial di sini. Aku ingin Dieng menjadi saksi salah satu perjalanan besar di
hidupku nanti lo,” ujar cintanya kala mereka berdua menghabiskan ujung hari di
ujung jalan menuju Arjuna. Itu adalah bulan keduabelas sejak pertemuan pertama
mereka, juga di Dieng ini, termasuk trip bersama mereka saat Dieng Culture Fest lalu.
Makanya Keenan tahu, kemana kira-kira
kaki Aneesa akan melangkah usai mengunjungi Arjuna. Sikidang selalu menarik bagi
Aneesa. Kawah yang berpindah-pindah, meletup dan mengeluarkan bau belerang yang
sangat kuat, menarik bagi seorang Aneesa.
“Kamu tahu gak Keen, kalau nanti suatu
saat Kawah Sikidang ini tidak akan lagi berpindah tempat,” tanya Aneesa setelah
sebelumnya menjelaskan asal muasal nama Sikidang. Bahwa Sikidang dapat diartikan
sebagai kidang atau rusa, yang sukanya meloncat-loncat, begitu pula kawah ini
yang selalu berpindah tempat, lincah kayak rusa.
“Tidak. Yang aku tahu, aku tidak akan
berjalan di belakangmu kalau ke sini. Aku khawatir kamu kentut dan baunya
tersamarkan oleh aroma belerang,” ujar Keenan sekenanya, disambung dengan
langkah cepat Aneesa yang ingin mencubitnya gemas. Namun Keenan lebih dulu
lari, disusul Aneesa sembari berteriak-teriak kecil, masih gemas ingin
mencubit.
“Jadi, Kawah Sikidang ini tidak akan
lagi berpindah tempat jika ia sudah bertemu dengan Kawah Sibanteng. Tapi entah
kapan itu terjadi. Setidaknya, Sikidang sudah berpindah sebanyak 3 kali.
Kemungkinan, ia akan bertemu Sibanteng di lokasi pertama Sikidang muncul,”
Aneesa menerocos, menjejali dengan berbagai informasi. Tapi sebaliknya, Keenan
seolah abai penjelasan itu, ia lebih sibuk memandang wajah Aneesa, gadis yang
dipilihnya sejak pertemuan mereka 12 purnama lalu.
Kawah Sikidang masih sama dengan setahun
pertama pertemuan mereka. Hanya saja kini lebih banyak pedagang berjajar
memanjang hingga mendekati bibir kawah. Keenan memandang memutar, menyapu
seluruh pengunjung. Tak jua ditemukannya gadis pujaannya. Kelebatnyapun tak
nampak. Ia sedikit putus asa. Apalagi terang sebentar lagi memudar, berganti
petang.
Keenan memutar otak, sepertinya ia harus
menyerah kali ini. Masih ada esok, untuk mendapatkan cintanya, menautkan rasa
yang mengendap dalam. Rasa yang harus diungkapkannya, apapun hasilnya. Waktunya
dicukupkan untuk beristirahat, D’Qiano menjadi pilihan sekaligus tempat melepas
penat.
“Di sana ada tempat berendam air panas.
Aku bisa ngadem dan refresh di sana. Ya setidaknya melepas daki dan aroma busuk
belerang dan pupuk kandang tadi siang,” ujarnya menghibur diri dalam hati.
*
SUDAH sejak adzan Subuh Keenan
terbangun. Tidurnya tak terlalu nyenyak. Beban rasa di hatinya terlalu berat
untuk tak segera diungkapkan.
Sejenak mengatur rencana, ia menduga
Aneesa akan berburu sunrise. Sikunir menjadi alternatif pertama. Tapi ia
menggeleng, trek 45 menit dan jalan cukup terjal tidak akan diambil mengingat
sudah jam 05.00 lebih.
Bergegas usai solat dan mandi, ia ambil
tas lengkap dengan kamera dan peralatannya. Semua skenario sudah disiapkan,
mengambil momen paling istimewa demi pujaan hatinya.
Keenan bergeming. Langkah dan hatinya tidak bersepakat. Ia ingin ke
Bukit Sigandu namun hatinya membisikkan kata agar ia memilih ke Bukit Pangonan
dengan alasan waktu sudah mendekati 05.00, sehingga akan lebih cepat treking
dan sampai puncaknya.
"Masih bisa dapat sunrise...waktu yang tepat untuk menyatakan cinta
kepada Aneesa. Terlebih di sana ada savana yang pasti lebih romantis,"
bisik hatinya lirih.
Masuk akal pikirnya. Bergegas ia percepat langkahnya, seolah tak ingin
tertinggal sedikitpun. Di kaki bukit, tak dijumpainya seorangpun. Begitu pula
di sepanjang jalan menanjak menuju puncak bukit. Hanya beberapa petani kentang
yang sibuk menyiangi gulma. Dua pipa besar yang mengalirkan uap panas dari kawah-kawah di Dieng, ikut menemani jalur pendakiannya.
"Iya mas, tadi ada rombongan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Banjarnegara yang naik ke puncak. Ya belasan orang lah," ujar seorang
petani menjawab sapaan Keenan, sekaligus mengkroscek siapa tahu ada belahan
jiwanya di antara mereka.
Masih terengah-engah ketika kakinya sampai di sisi hutan Lembah Sumurup.
Terhampar di depannya, padang savana luas, mulai menghijau seiring hujan pasca
kemarau panjang. Sisa-sisa padang yang terbakar, masih nampak coklat, meski
mulai menghilang. Bekas kawah purba ini, telah beralih rupa menjadi telaga dan
kini berganti dengan padang savana. Konon di sinilah pertama kali tanaman
purwaceng yang legendaris itu ditemukan.
Memandang berkeliling, mata Keenan
nanar. Dari belasan orang yang nampak dari ketinggian ia berdiri, belum terlihat
sosok yang diidamkannya. Sedikit merasa letih dan kecewa, ia memutuskan
berbalik arah. Sesaat itu pula, seiring Keenan membalikkan badan, Aneesa muncul
dari balik semak, tepat di belakangnya. Sama terkejutnya ekspresi keduanya.
Namun Keenan jauh lebih terkejut. Aneesa
muncul sembari menggandeng mesra tangan seorang laki-laki yang jauh lebih
ganteng, gagah dan wajahnya nyaris selalu tersenyum, meski ia sedikit merasa
aneh dengan senyuman itu. Sesekali, lelaki itu bahkan menggelendot manja di
bahu gadis yang dipilihnya untuk menghabiskan sisa umur bersama.
“Keenan? Kenapa kau sampai ada di sini,
sendirian lagi? Sedang apa? Sama siapa? Ngapain?” berondongan pertanyaan Aneesa,
belum mampu dijawabnya. Ia benar-benar lunglai, tak mampu berkata apa-apa. Bukan
karena pertanyaan yang bertubi-tubi, namun lebih karena sosok lelaki itu. Surprise
tak dinyana.
“Ehm...ehmm aku mencarimu. Aku mengejarmu
sejak dari Semarang, ke Dieng dan Arjuna dan juga Sikidang,” jawab Keenan
sekenanya. Matanya masih nanar bertanya-tanya, siapa lelaki ganteng yang
menggenggam tangan Aneesa itu.
“Mengejar? Untuk apa? Aku kan tidak
lari. Ah kau ada-ada saja,” Aneesa masih menjawab datar.
“Oh iya, ini kenalin
kakakku, namanya Adheera. Kami memang mau ke sini, namun harus berjalan
pelan-pelan. Kakakku suka usil, jadi harus sabar. Aku pengin nunjukin ke kakak
bahwa dunia itu indah, ia juga bisa belajar dari alam. Ya meski kemampuannya
terbatas, tapi kakakku juga butuh piknik. Masak cuma adeknya saja yang travelling
terus. Makanya ia kuajak naik Bukit Pangonan saja yang lebih landai. Dan meski
agak lama, akhirnya kami sampai juga di sini. Indahnya ya puncak Pangonan ini,”
penjelasan Aneesa bagai setetes kopi purwaceng, meletupkan gairah Keenan.
Dari penjelasan
itu pula, ia baru tahu bahwa Adheera mengalami autism sejak umur 2 tahun. Dan nyaris
sepanjang hidupnya, Aneesa memberikan perhatian penuh kepada sang kakak. Travelling,
mendaki gunung serta memotret adalah hobi yang disalurkannya di sela kesibukannya
mengasuh Adheera.
“Makanya kalau
ngetrip, aku tak bisa lama-lama. Ada kakakku yang juga butuh perhatianku. Eh sudah
ah, aku terus yang cerita. Kamu juga cerita, kenapa sampai di sini? Kenapa pula
mengejarku, emang aku maling? Udah yuk, jalan ke bawah yuk, pengin motret
savana nih,” ujar Aneesa kembali menggandeng tangan kakaknya.
Ingin rasanya
Keenan menjawab. “Iya, kamu maling hatiku. Gak cuma separuh, tapi seutuhnya. Apa
yang kamu lakukan, gerakmu, tingkahmu, budi pekerti dan segala kebaikan dirimu
sudah mempesonaku. Seperti pesona Dieng yang tak pernah luntur sampai kapanpun,
bersanding sempurna dengan keelokan sifatmu Neesa,” tapi itu hanya disimpannya
dalam hati, sampai nanti benar-benar tiba waktu terbaik untuk mengungkapkannya.
Tapi setidaknya,
kini telah terbuka jalan untuk hatinya berlabuh. Bahkan meski jauh dari
pelabuhan, Keenan yakin akan menambatkan perahunya di sini, di hati Aneesa, di
tengah cantik pesona Tanah Dhyang. Keenan makin yakin, memantapkan langkahnya ikut menggandeng
tangan Adheera di seberang sisi Aneesa, bersama. **
Photo by @ikapuspita1 |
* Catatan pertama Famtrip Bloger dan Media bersama Disbudpar Banjarnegara
** Bersambung
baru catatan pertama udah panjang dan sarat cerita banget. keren mas wahid
BalasHapusMatursuwun mbakdos yang caem sak erte limo...dikau juga keren, tulisannya inspiratif kok.
HapusKeenan ngapain cari jodoh sampe Dieng sik? Semarang kan banyak wkwkw
BalasHapusBiar kayak film...dramatis sampe puncak dan Dieng hihi
HapusYa ampun Keenan so sweet banget sampai keliling Dieng mengejar gorengan eh cintaa..
BalasHapusHusss...itu ngejar layangan putus wakakaka
HapusDan aku menunggu Keenan mengungkapan seluruh isi hatinya kepada Aneesa di tanah Dieng. Hihihihi
BalasHapusOh gitu...jadi maunya diutarakan saja? Tidak pengin di selatankan sajakah wakakakak. OK wait seri berikutnya, kita liat apa yg akan terjadi
HapusCeritanya bagus, like it.
BalasHapusBaru sekali ke Dieng, baca ini jadi pengen main lagi kesana sekeluarga
Buruan ke Dieng...sebelum tutup lo. loh eh kok tutup? sebelum aku kelima kalinya lo maksude wakakka
HapusLoh, jebul sudah sampe 4 kali ke Dieng ya. hahaa...
BalasHapusberati jangan sampai tidak yang kelima kalinya dan seterusnya.
Loh kelima dan keenam dst...siap dong, Dieng g akan pernah habis dieksplore. Masih banyak yg belum kukunjungi...kancani ya next ya
HapusYg cuma perhatian kalah sm yg berani ngajak jalan keen, ayo utrakan, hehe
BalasHapusWooo boleh kok diutarakan, di selatankan juga boleh wekwekwkewke. Tapi bener tuh, yg cuma mendam bakal kalah sama yg menyampaikan, yg cuma nyapa di WA bakal ditikung sama yg ngajak jalan hahahaha
HapusYg cuma perhatian kalah sm yg berani ngajak jalan keen, ayo utrakan, hehe
BalasHapusNah ini, true story.
HapusYang cuma chating "udah makan belum" bakal kalah sama yang "yuk makan" lalu gandeng.
True story? aihhh saya ketemu dengan pakar 'yuk makan' lalu gandeng tangannya...tabik suhuuuuu hahahahha
HapusSalam untuk Keenan ya mas bro.. eh dia tuh penjelajah waktu bukan sih? Kok bisa ingat peristiwa tahun 74 padahal sekarang masih remaja? Hihi..
BalasHapusBTW mantaaab nih..
Kam dia baca sejarah mbak. Anak muda yg ganteng kyk aku, hrs paham sejarah hahaha
HapusKok aku ga ketemu sama Keenan ya kmrn. Nek ketemu kan aku bisa tepe tepe
BalasHapusHuss...inget anak suami dan kumbahan di rumah wekwekwke
HapusMantabh kak...suka deh sama cerita cerita roman seperti ini. Segera meluncur ke seri keduanya ahh
BalasHapusMatur suwun ya...sukses slalu
Hapus