SENIN siang itu cukup
terik. Apalagi sepekan terakhir, matahari sedang berada di titik terdekat
dengan khatulistiwa.
Serasa di ubun-ubun,
panasnya menyengat, menghasilkan peluh yang menderas. Berkali-kali menyeka
keringat, bukan berarti langkah kami surut.
Menyusur jalan kampung
yang berdebu di penghujung kemarau ini, kami bergegas. Masih banyak rumah yang
harus kami kunjungi, beradu lalang dengan ratusan warga lainnya.
Apalagi masih menumpuk
jajan yang musti kami icipi. Belum lagi menu-menu lezat seperti opor ayam,
rendang daging atau telor balado bahkan bakso, serasa menanti kedatangan kami.
Tapi ini bukan Lebaran.
Syawal telah jauh ditinggalkan, sekira 4 bulan di belakang. Senin legi 28
Oktober ini, tepat pula jatuh pada 29 Safar 1441 H.
Inilah Saparan. Sebuah tradisi
yang terus dijaga hingga kini oleh warga Desa Sumogawe, Getasan Kabupaten
Semarang.
Di sini, tak perlu
menunggu lebaran untuk bersilaturahmi. Di tempat ini, semua makanan tersaji
free tanpa harus menanti datangnya hari fitri.
“Saat Saparan, semua
kolega, kerabat dan teman dekat kami undang hadir untuk memperpanjang silaturahmi
dan kekerabatan,” Maman, warga Krajan Sumogawe yang menjadi tujuan pertama saya
mulai berkisah.
Saparan bagi warga
Sumogawe adalah lebaran ketiga setelah Idul Fitri dan Idul Adha. Di saat inilah
seluruh warga membuka pintu rumah lebar lebar-lebar, tak lupa karpet dan tikar
juga digelar.
Aneka rupa jajan
tersaji, menunggu disantap sembari berbasa-basi. Di ruang makan, menu-menu
masakan berat menanti dicicipi, menahan gejolak perut agar segera diisi.
Tapi tunggu dulu. Tak terlalu
bijak menyantap semua menu yang tersedia. Pasalnya, warga lain juga menyediakan
menu serupa dan tak berkah jika semua sajian warga yang dikunjungi tak dirahapi.
“Saat open house
seperti sekarang ini, semua warga Sumogawe berada di rumah. Yang kerja ya libur
demi menunggu tamu-tamu yang akan berkunjung. Dan semua tamu, wajib makan di
setiap rumah yang mereka kunjungi karena Saparan adalah wujud syukur warga atas
nikmat Illahi,” imbuh Maman seraya mempersilahkan rekan-rekan kerjanya di Dinas
Lingkungan Hidup (DLH) Kota Salatiga menyikat habis semua sajian.
Sebelumnya, seluruh
warga telah berkumpul di tetua kampung. Bersama mereka menggelar kenduri dan
merti bumi, memberi sesaji dari daging ternak dan hasil bumi.
Kirab budaya seluruh tua
muda bahkan anak-anak menjadi penanda, betapa rasa syukur adalah segalanya. Pun
mereka tak lupa berdoa, tilik kubur dan ziarah dikemas dalam nyadran, tepat sepekan
sebelum Saparan.
“Kalau di Dusun Magersari,
Saparan-nya jatuh pada setiap Rabu pon bulan yang sama. Jadi masing-masing
Saparan di berbagai dukuh di Sumogawe tidak bareng. Kami jadi bisa saling
berkunjung, bergantian silaturahmi antar warga dusun. Prosesinya juga sama,
diawali dengan merti bumi dan kirab budaya,” ungkap Tiyo, warga Magersari.
Kyai Sumokerti dan Nyai
Gawe, pasangan pendiri Desa Sumogawe, pasti bangga dengan polah tingkah cucu cicit
mereka. Di tengah gejolak dan syahwat negeri yang rakyatnya mudah tersulut
emosi, Sumogawe membawa pelita keharmonisan, persaudaraan dan kebersamaan.
Bahwa open house bukan sekedar milik mereka
yang berlabel pejabat. Bahwa sebenarnya amatlah mudah membuat Nusantara ini
bahagia, selama masing-masing manusianya memegang teguh aturan dan adat budaya.
Pesan persaudaraan dari
lereng Merbabu ini, layak kita bawa ke penjuru negeri. Mengabarkan sekaligus
menyebarkan virus arif lokalnya tradisi Saparan.
“Satu rumah lagi
sepertinya masih mampu mas perutnya, tadi aku sengaja makan dikit-dikit kok biar muat banyak. Mumpung gratis lo,” rayu seorang rekan.
Tidak. Gumamku lirih bergeming.
Saya terlalu tidak
sabar ingin segera mengabarkan tentang Saparan kepada dunia. Tentang semangat
persaudaraan dan nguri budaya dari Sumogawe yang ternyata tak hanya dikenal
atas produksi susu sapi perah dan Pokdarwis Ken Nyusu-nya.
Saya sangat bersemangat
untuk Sumogawe...
Betul kak, acaranya sederhana tapi bermakna dalam ya, mempererat persaudaraan dan menjaga keguyuban antar penduduk...patut ditiru..
BalasHapus...dan sebagai orang Salatiga yang pernah gede di sana, saya merasa malu baru tahu Saparan sekarang ini. Aku merasa hina kak...
HapusWhat an amazing cultural heritage from their ancestors. Like a whole neighborhood bond to be one big family. I hope this lifestyle will last forever and spread across our country. Mari Menyusu...
BalasHapusMangap kak...artinya apa?
HapusKlo kalimat terakhirnya aku paham xixixixixi
Nggak ada kata pelit buat warga yang menggelar Saparan. Makin banyak yang datang, makin baguss..
BalasHapusMakin berkah barokah yo kak...aamiin. Kita jg makin kenyang ðŸ¤ðŸ˜…
HapusLucky Club Casino site | Live Casino | LuckyClub.live
BalasHapusLucky Club luckyclub.live Casino has over 500 of the most popular slots and progressive jackpots online, plus hundreds of other casino games including slots, table games,